Thursday, October 16, 2008

Akankah Ekonomi Indonesia Bertahan di Tengah Krisis Global sekrang?

Turbulensi pasar keuangan global kian menjadi-jadi pascabangkrutnya perusahaan investasi raksasa Lehman Brothers pada 15 September 2008. Tak satu negara pun yang terbebas dari amukan bencana finansial ini. Pasar keuangan Indonesia juga karut-marut dihantam sentimen negatif. Seberapa kuat sebenarnya fundamental ekonomi domestik menghadapi situasi ini?

Sejak bangkrutnya Lehman Brothers, laju kejatuhan indeks dan kurs makin kencang. Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia tercatat telah meluncur lebih dari 330 poin. Ini berarti dalam rentang tiga minggu indeks telah jatuh sekitar 18,5 persen.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom menjelaskan, gejolak pasar keuangan dan pasar modal domestik tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena masih sejalan dengan pergerakan pasar global.

Kecuali indeks saham, berbagai indikator moneter, perbankan, dan makroekonomi Indonesia, menurut Miranda, menunjukkan ketahanan relatif lebih baik dibandingkan negara lain.

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, misalnya, sejak awal tahun hingga kini hanya terdepresiasi 2 persen. Bandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami depresiasi 4-7 persen akibat krisis keuangan global.

Inflasi Indonesia juga relatif lebih baik karena hanya melonjak dua kali lipat dibandingkan 2007. Negara-negara lain umumnya melonjak 3-4 kali dari tahun sebelumnya. Namun, dilihat dari levelnya, inflasi Indonesia tergolong tinggi, per September 2008 mencapai 12,14 persen.

Pertumbuhan ekonomi domestik, kata Miranda, juga tetap kuat di tengah pelambatan perekonomian global.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan, kondisi perbankan, yang menjadi jantung perekonomian, juga memiliki fundamental yang kuat. Itu tecermin dari berbagai faktor, seperti rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), likuiditas, dan permodalan. NPL neto (setelah dikurangi provisi) hanya 1,42 persen, jauh di bawah batas maksimum, 5 persen.

Likuiditas juga masih memadai, tecermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposits ratio/LDR) yang masih di bawah 80 persen. Ketatnya likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata antarbank.

Banyak bank yang sebenarnya likuiditasnya berlebih enggan meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa mendatang.

Permodalan perbankan domestik, kata Muliaman, juga cukup kuat. Ini tecermin dari rasio kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka minimum 8 persen.

Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian.

Kendati fundamental perekonomian cukup kuat, BI tetap mewaspadai gejolak yang terjadi saat ini dan tetap fokus menjaga nilai rupiah yang tecermin dari inflasi dan nilai tukar.

Atas dasar itulah, kata Miranda, dalam rapat Dewan Gubernur BI dua hari lalu, suku bunga acuan (BI Rate) dinaikkan 25 basis poin menjadi 9,5 persen. Ini untuk memberikan sinyal dan arah kepada para pelaku pasar.

Untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan 2009, BI ingin memastikan bahwa inflasi tahun 2009 terkendali di kisaran 6,5-7,5 persen. Atas dasar itu, BI Rate disesuaikan menjadi 9,5 persen agar suku bunga riil tetap terjaga di kisaran 2-2,5 persen. Inflasi tinggi amat berbahaya, dapat menurunkan nilai aset yang dimiliki masyarakat golongan bawah.

Dalam jangka pendek, kenaikan BI Rate juga untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang tinggi dari para pelaku pasar. Ekspektasi inflasi yang tinggi telah membuat nilai tukar terpelanting melewati batas psikologis Rp 9.500 per dollar AS.

seharusnya BI akan menjaga nilai tukar rupiah tidak berfluktuasi secara tajam. Pelemahan rupiah yang tajam sangat merugikan perekonomian karena inflasi yang berasal dari barang impor akan meningkat. Selain itu, eksportir dan importir juga diliputi ketidakpastian sehingga cenderung wait and see.

Otoritas moneter dan otoritas fiskal harus melakukan upaya lain untuk meredam dampak krisis finansial global. kenaikan BI Rate bersifat kontraproduktif karena memicu risiko kredit macet di sektor pertambangan, perkebunan, dan properti.

Sektor riil

Otoritas fiskal seharusnya memanfaatkan situasi saat ini dengan memperkuat perekonomian domestik. Caranya, antara lain, dengan memberi insentif pada industri lokal, seperti tekstil.

Untuk sektor ekspor, meski permintaan di pasar tradisional, yaitu AS, Jepang, dan Eropa, turun, peluang yang cukup besar tetap terbuka, terutama ke negara-negara Asia seperti China, India, kawasan Timur Tengah, dan Rusia.

No comments: