Monday, June 14, 2010

KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

A. Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan ekonomi lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi dalam suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat. Hingga menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya
Persoalan kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi mereka.

B. Konsep dan Defenisi
Defenisi kemiskinan terbagi dua,
1. Kemiskinan relative (yang mengaju pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefisisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup untuk untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

2. Kemiskinan absolute (derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolute sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu Negara dengan Negara lain hanya jika garis kemiskinan absolute yang sama digunakandi kedua Negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolute agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar Negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya financial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu:
a) US $1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut;
b) US $2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolute.

3. Kemiskinan Lainnya
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indicator kemiskinan.

C. Metodologi dan Konsep Penghitungan Penduduk Miskin, Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan
1) Badan Pusat Statistik
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKMN), sebagai berikut :
GK = GKM + GKNM
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan.

2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan.

Kurva Lorenz

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurnah yaitu apabila hanya seseorang saja yang menerima seluruh pendapatn nasional, sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertical di sebelah kanan.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurnah) hingga satu (ketimpangan yang sempurnah).

Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relative sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva loronz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.

3) Indeks Kemiskinan Manusia
Tidak puas dengan ukuran pendapatan perhari yang digunakan oleh bank Dunia, UNDP berusaha mengganti ukuran kemiskinan “pendapatan “ Bank dunia dengan ukuran kemiskinan “Manusia”. Diukur dengan keyakinan bahwa kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama. Yaitu kehidupan, pendidikan dasar, serta keseluruhan ketetapan ekonomi (diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak-anak di bawah usia 5 Tahun yang kekurangan berat badan.

D. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan:
1) Tingkat Pendidikan;
2) Tingkat dan laju pertumbuhan;
3) Tingkat upah neto;
4) Distribusi pendapatan
5) Kesempatan kerja
6) Tingkat Inflasi
7) Pajak dan Subsidi
8) Investasi
9) Alokasi serta kualitas sumber daya alam
10) Ketersediaan fasilitas umum
11) Penggunaan teknologi
12) Kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja

Dilihat secara sektoral, pusat kemiskinan di Indonesia terdapat disektor pertanian, terutama disektor perikanan. Ini disebabkan karena:
a) Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja disektor tersebut terlalu banyak, sedangkan tanah, capital, dan teknologi terbatas, dan tingkat pendidikan petani masih sangat rendah.
b) Daya saing petani atau dasar tukar domestic antara komoditi pertanian terhadap output industri semakin lemah.
c) Tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditi nonfood yang memiliki prospek pasar dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.

E. Kebijakan Pemerintah dalam Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan
Strategi dalam pengurangan kemiskinan yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2. Pemerintahan yang baik (good Governance)
3. Pembangunan Sosial

Intervensi pemerintah:
1. Intervensi jangka pendek adalah terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan;
2. Manajemen lingkungan dan sumber daya alam, ini penting karena hancurnya lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan kemiskinan.
3. Intervensi jangka menegah dan panjang yang penting adalah:
a. Pembangunan Sektor Swasta, sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan.
b. Kerjasama Regional, kerjasama yang baik dalam bidang ekonomi, industry, dan perdagangan, maupun non ekonomi.
c. Manajemen Pengeluaran Pemerintah (APBN) dan Administrasi, sangat membantu usaha untuk meningkatkan cost effectiveness dari pengeluaran pemerintah untuk membiayai penyediaan/ pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas umum.
d. Desentralisasi, sangat membantu usaha pengurangan kemiskinan dalam negeri
e. Pendidikan dan Kesehatan,
f. Penyediaan Air Bersih dan Pembangunan Perkotaan.

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah antara lain:
A. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan
Dalam kurun waktu 2005-2008 program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui sinkronisasi berbagai kebijakan lintas sektor yang diarahkan untuk penciptaan kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin, peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Sejak tahun 2009, program penanggulangan kemiskinan diarahkan pada 4 fokus, yaitu: (i) pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat miskin; (ii) perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana; (iii) penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; dan (iv) peningkatan usaha rakyat.
Pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat miskin dilaksanakan melalui kegiatan: (1) pemberian Bantuan Langsung Tunai/BLT bagi 18,5 juta rumah tangga miskin; (2) pelaksanaan Program Harapan Keluarga/PKH bagi 720.000 rumah tangga sangat miskin di 13 provinsi; (3) subsidi pangan untuk masyarakat miskin dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga sasaran; (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan dalam bentuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam rangka mendukung Wajib belajar 9 tahun, serta pemberian beasiswa bagi mahasiswa miskin; (5) peningkatan kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah dengan membantu masyarakat miskin dalam memperoleh sertifikat hak atas tanah; (6) peningkatan akses terhadap air bersih dengan membangun prasarana air minum perpipaan di perkotaan dan perdesaan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana dilaksanakan melalui kegiatan: (1) peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan melalui program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin bagi 76,4 juta penduduk miskin dan (2) Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan Keluarga Berencana.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan: kelanjutan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk daerah perdesaan, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) untuk daerah perkotaan, Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi wilayah (PISEW) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), kegiatan pengembangan usaha agribisnis pertanian (PUAP), serta program pemberdayaan bidang kelautan dan perikanan. Sementara itu, peningkatan usaha rakyat dilaksanakan melalui: (1) pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR); (2) penguatan modal di sektor pertanian melalui dana penguatan modal-Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan di 27 provinsi; serta (3) penguatan akses modal di sektor kelautan dan perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik. Dalam 3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar 37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).








Pertumbuhan Ekonomi membutuhkan:

Ketahanan Pangan
Ketahanan Energy
Stabilitas Harga
Stabilitas Ekonomi dan stimulus fiscal
Iklim Investasi yang kondusif
Pengembangan Infrastruktur untuk mendukung daya saing sector riil.

B. Kebijakan Penunjang Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan
1. Kebijakan di bidang energi
Selama kurun waktu 2005-2009 bidang energi termasuk tenaga listrik menghadapi beberapa permasalahan, antara lain masih tingginya ketergantungan kepada produk minyak bumi; keterbatasan infrastruktur; pertumbuhan dan intensitas energi yang masih tinggi; dan keterbatasan dana untuk pengembangan infrastruktur. Beberapa langkah kebijakan yang telah ditempuh, antara lain: 1) meningkatkan pemanfaatan gas bumi nasional sesuai dengan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN); 2) melanjutkan program konversi (diversifikasi) energi, melalui pengalihan pemanfaatan minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG); 3) percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW; 4) pengembangan usaha Hilir Migas dilaksanakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan; 5) restrukturisasi sektor energi; serta 5) meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan energi.
Hasil-hasil di bidang energi yang dicapai hingga Juni 2009 antara lain: 1) pembangunan pipa transmisi gas bumi Sumatera Selatan-Jawa Barat tahap I dan tahap II yang akan meningkatkan pasokan gas untuk daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. 2) pengembangan wilayah distribusi gas bumi di Jawa Bagian Barat yang melalui Domestic Gas Market Development Project; 3) pembangunan 2 kilang mini minyak bumi dan 3 kilang mini LPG; 4) pembangunan kilang Liquefied Natural Gas (LNG) di Tangguh; 5) pelaksanaan program pengalihan dari minyak tanah ke LPG; 4) pengembangan Desa Mandiri Energi (DME) yang berbasis NonBBN (Bahan Bakar Nabati) dan berbasis BBN; 5) penyelesaian beberapa peraturan, antara lain UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi; PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; dan Perpres No. 104 tahun 2007 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kilogram Untuk Rumah Tangga dan Usaha Kecil; Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Sementara itu, dalam pembangunan kelistrikan telah dilaksanakan: 1) penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.457 MW; 2) pembangunan pembangkit listrik skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia yang menggunakan pembangkit listrik tenaga hidro dan panas bumi; 3) percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW; 4) pembangunan jaringan transmisi sebesar 4.137 km; 5) pencapaian rasio elektrifikasi sebesar 65,1%; 6) pencapaian rasio desa berlistrik dari 86,26% (2004) menjadi 92,2% (2008); dan 7) pengembangan Energi Baru Terbarukan dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Biofuel.

2. Kebijakan di bidang pangan
Di bidang pangan, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan dan program/kegiatan yang diarahkan pada pencapaian swasembada pangan dan kemandirian pangan sehingga ketersediaan dan konsumsi pangan dapat dipenuhi dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, seimbang, dan berkelanjutan baik di tingkat nasional, daerah, maupun di tingkat rumah tangga. Di samping itu, dalam arti luas, kebijakan juga diarahkan untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat, memenuhi kebutuhan bahan baku industri, meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, meningkatkan kemampuan/keterampilan petani, meningkatkan perlindungan terhadap petani dari dampak pasar global dan daya saing produk pertanian, meningkatkan mutu produk pertanian, meningkatkan efisiensi usaha tani, meningkatkan dukungan infrastruktur pertanian dan regulasi yang kondusif serta pengelolaan sumber daya pertanian secara lestari dan berkelanjutan.

3. Kebijakan di bidang industri
Untuk meningkatkan daya saing industri nasional, dan menjadi negara industri tangguh pada tahun 2020, pada tahun 2005 telah diterbitkan buku Kebijakan Pembangunan Industri Nasional yang kemudian dikukuhkan melalui Peraturan Presiden No.28 Tahun 2008 yang antara lain menetapkan bangun industri nasional dalam jangka panjang, strategi pembangunan industri, serta 6 industri prioritas dan 1 industri kompetensi daerah.
Mengantisipasi dampak negatif krisis global tahun 2008 terhadap industri dalam negeri, telah diterbitkan Instruksi Presiden tahun 2009 tentang penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selanjutnya untuk lebih mengoptimalkan pembinaan industri, pada tahun 2009 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 24 tentang Kawasan Industri.


4. Kebijakan di bidang perdagangan
Beberapa kebijakan di bidang perdagangan dan industri adalah: (i) melakukan upaya penetrasi pasar global melalui diversifikasi produk dan pasar tujuan ekspor; (ii) meningkatkan fasilitas perdagangan melalui pelayanan elektronik; (iii) kerjasama perdagangan internasional untuk peningkatan akses pasar; (iv) perlindungan konsumen; dan (v) standarisasi produk. Selain itu, dalam rangka stabilisasi harga bahan pokok dalam negeri telah dilakukan berbagai upaya, antara lain kebijakan PPN ditanggung Pemerintah (PPn DTP) untuk minyak goreng dan terigu, penurunan PPN impor untuk gandum, kedelai dan terigu, serta peluncuran program MAKITA.
Upaya lain yang dilakukan di bidang perdagangan adalah mewujudkan penyediaan layanan elektronik perdagangan dalam bentuk Penerapan E-Licensing dalam rangka National Single Window (NSW) serta penerapan otomasi Surat Keterangan Asal (SKA). Sedangkan untuk peningkatan akses pasar telah dilaksanakan market intelligence, penyediaan layanan buyers reception desk, serta promosi dagang. Kerja sama perdagangan internasional dilaksanakan melalui ratifikasi berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional. Sementara itu dalam kerangka standardisasi produk telah ditetapkan 905 SNI di mana 173 diantaranya sudah harmonis dengan standar internasional.

5. Kebijakan di bidang investasi
Kebijakan untuk meningkatkan investasi dilaksanakan melalui penetapan berbagai peraturan perundangan guna memberikan kepastian usaha bagi para penanam modal. Beberapa peraturan penting yang telah ditetapkan, antara lain: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, serta beberapa peraturan yang langsung atau tidak langsung terkait dengan perbaikan iklim usaha, yaitu: UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM; UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan; Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan Atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Pelaksanaan berbagai perangkat peraturan tersebut menghasilkan realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang meningkat dari Rp 15,4 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 20,4 triliun pada akhir tahun 2008 atau rata-rata tumbuh sebesar 7,2%, bahkan pada tahun 2007 mencapai Rp 34,9 triliun. Demikian pula untuk Penanaman Modal Asing (PMA) pada periode yang sama mengalami lonjakan dari USD 4,6 miliar menjadi USD 14,9 miliar atau rata-rata tumbuh sebesar 34,3%.

6. Kebijakan di bidang infrastruktur
Pada dasarnya, permasalahan yang dihadapi di bidang infrastruktur adalah kualitas dan kuantitas yang terbatas serta sebarannya yang belum merata di seluruh wilayah. Kebijakan dalam infrastruktur sumber daya air ditujukan untuk menjaga ketersediaan air secara memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya, antara lain melalui pengembangan pola hubungan hulu-hilir dalam mencapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan serta melakukan percepatan pembangunan tampungan-tampungan air skala kecil/menengah.
Di bidang prasarana jalan, kebijakan pokok diarahkan untuk: (i) memulihkan fungsi arteri dan kolektor serta mengoptimalkan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan dan jembatan nasional terutama pada lintas-lintas strategis untuk mempertahankan dan meningkatkan baik daya dukung, kapasitas, maupun kualitas pelayanannya, baik di daerah yang perekonomiannya berkembang pesat, maupun dalam membuka akses ke daerah terisolir dan belum berkembang; (ii) meningkatkan dan membangun jalan dan jembatan nasional pada lintas strategis; (iii) mengembangkan jalan bebas hambatan pada koridor-koridor jalan berkepadatan tinggi; (iv) dukungan pembebasan tanah dalam pembangunan jalan tol; serta (v) melakukan koordinasi di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengharmonisasikan keterpaduan sistem dalam konteks pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas).
Kebijakan di bidang perkeretaapian antara lain: (i) melanjutkan deregulasi pada angkutan kereta api; (ii) melaksanakan program Roadmap to Zero Accident; (iii) meningkatkan kapasitas lintas dan angkutan perkeretaapian untuk meningkatkan share angkutan barang; (iv) meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas skema pendanaan public service obligation (PSO), infrastructures maintenance and operation (IMO), dan track access charge (TAC); (v) meningkatkan peran swasta dalam penyelenggaraan perkeretaapian; (vi) meningkatkan pangsa angkutan barang pada pusat-pusat pertambangan nasional; serta (vii) mengaktifkan jalur-jalur kereta api yang sudah tidak dioperasikan.
Kebijakan di bidang transportasi laut antara lain: meningkatkan peran armada laut nasional terutama untuk angkutan domestik antarpulau; melanjutkan kewajiban pemerintah dalam angkutan perintis; menghilangkan biaya ekonomi tinggi dalam kegiatan bongkar muat di pelabuhan; menambah dan memperbaiki pengelolaan prasarana dan sarana transportasi laut untuk pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri; mengetatkan pengecekan kelaikan laut baik kapal maupun peralatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; dan meningkatkan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran sesuai dengan standar International Maritime Organization (IMO).
Di bidang transportasi udara, beberapa kebijakan yang ditempuh antara lain: melanjutkan kebijakan multioperator angkutan udara; restrukturisasi kewenangan antara pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aspek keselamatan penerbangan; melanjutkan pelayanan keperintisan untuk wilayah terpencil; memperketat pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi; peningkatan fasilitas keselamatan penerbangan dan navigasi sesuai dengan standar (International Civil Aviation Organization) ICAO; serta memperketat pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi.
Berdasarkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut, telah diperoleh hasil dan pencapaian dalam berbagai bentuk infrastruktur. Hasil pembangunan infrastruktur sumber daya air antara lain berupa waduk, embung, atau sarana pengamanan bendungan di berbagai lokasi.

7. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan
Dua kebijakan utama dalam mengatasi permasalahan pengangguran terbuka adalah melalui: (i) kebijakan yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan (ii) mendorong program-program pembangunan agar mengarah pada penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Berdasarkan dua kebijakan pokok tersebut, langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mendorong pembukaan lapangan kerja baru melalui pengembangan UMKM; (2) meningkatkan kualitas dan kompetensi tenaga kerja melalui penyelenggaraan pelatihan kerja; (3) memperbaiki mekanisme penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri melalui peningkatan kualitas pelayanan; (4) melaksanakan konsolidasi program-program perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan sinergi proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan UMKM; (5) membuka akses informasi pasar kerja; dan (6) memperkuat hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja dengan mendorong tercapainya perundingan bipartit.

No comments: